loading...
Gotong-royong sebagai solidaritas sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, terutama mereka yang membentuk komunitas-komunitas, alasannya ialah dalam komunitas ibarat ini akan terlihat dengan jelas. Gotong-royong terjadi dalam beberapa acara kehidupan, ibarat gotong-royong dalam bentuk kerjabakti, dilakukan untuk kepentingan bersama; gotong-royong dalam bentuk tolong menolong pada ketika melaksanakan pesta pernikahan, atau khitanan, beberapa hari sebelum pesta akan dilakukan terjadi sumbangan dari kenalan, tetangga ataupun kerabat tiba membantu dalam bentuk materi makanan, uang, ataupun tenaga,kemudian pemberian ini harus dikembalikan minimal dengan nilai yang sama.Bahkan gotong-royong sanggup pula terjadi pada ketika adanya peristiwa alam ataupun kematian salah seorang warga komunitas, hal ini tidak sanggup disebut kepentingan bersama ataupun kepentingan peribadi tetapi rasa kemanusiaan yang muncul di antara warga, alasannya ialah peristiwa alam datangnya tidak diperhitungkan ataupun diketahui, sehingga warga yang menerima peristiwa alam tersebut memerlukan pemberian dari warga lainnya. Gotong-royong sanggup terjadi di lahan pertanian uyang berada di wilayah pedesaan berupa curahan tenaga pada ketika membuka lahan hingga mengerjakan lahan pertanian, dan diakhiri di ketika panen, pemberian dari orang lain ibarat ini harus dikembalikan sesuai dengan tenaga yang orang lain berikan, hal ini terus menerus terjadi yang alhasil menjadi ciri masyarakat, terutama yang mempunyai mata pencaharian agraris. Khusus pemberian di lahan pertanian dicontohkan pada petani lahan kering, terutama pada sistem huma, alasannya ialah pada sistem pertanian huma sangat terang sekali pola gotong-royong yang mereka lakukan yaitu azas timbal-balik.
Gotong royong merupakan suatu istilah orisinil Indonesia yang berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan. Katanya berasal dari gotong = bekerja, royong = Bersama-sama dengan musyawarah, pantun, Pancasila, aturan adat, ketuhanan, dan kekeluargaan, gotong royong menjadi dasar Filsafat Indonesia ibarat yang dikemukakan oleh M. Nasroen
Gotong-royong sebagai bentuk solidaritas sosial, terbentuk alasannya ialah adanya pemberian dari pihak lain, untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan kelompok, sehingga di dalamnya terdapat sikap loyal dari setiap warga sebagai satu kesatuan. Dalam hal ini, Parson (1951 : 97 – 98) mengemukakan, “Kehidupan warga suatu komunitas yang terintegrasi sanggup dilihat dari adanya solidaritas di antara mereka melalui tolong-menolong tanpa keharusan untuk membalasnya, ibarat adanya peristiwa alam atau membantu warga lain yang dalam kesusahan. Tetapi tolong menolong ibarat ini menjadi suatu kewajiban, untuk saling membalas terutama dalam hal pekerjaan yang bekerjasama dengan pertanian atau di ketika salah satu warga melaksanakan perayaan. Begitu pula, apabila terdapat pekerjaan yang hasilnya untuk kepentingan bersama, maka dibutuhkan pengerahan tenaga dari setiap warga melalui kerjabakti.”
Kegiatan gotong-royong dilakukan warga komunitas, baik yang berada di perdesaan maupun di perkotaan, yang penting mereka dalam kehidupannya senantiasa memerlukan orang lain. Di perkotaan nilai gotong-royong ini sangat berbeda dengan gotong-royong di pedesaan, alasannya ialah di perkotaan segala sesuatu sudah banyak dipengaruhi oleh materi dan sistem upah, sehingga akan diperhitungkan untung-ruginya dalam melaksanakan gotong-royong, sedangkan di perdesaan gotong-royong belum banyak dipengaruhi oleh materi dan sistem upah sehingga kegiatan gotong-royong dibutuhkan sebagai suatu solidaritas antar sesama dalam satu kesatuan wilayah atau kekerabatan. Dalam hal ini Koentjaraningrat (1984 : 7) mengemukakan kegiatan gotong-royong di pedesaan sebagai berikut,
Gotong royong merupakan suatu istilah orisinil Indonesia yang berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan. Katanya berasal dari gotong = bekerja, royong = Bersama-sama dengan musyawarah, pantun, Pancasila, aturan adat, ketuhanan, dan kekeluargaan, gotong royong menjadi dasar Filsafat Indonesia ibarat yang dikemukakan oleh M. Nasroen
Gotong-royong sebagai bentuk solidaritas sosial, terbentuk alasannya ialah adanya pemberian dari pihak lain, untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan kelompok, sehingga di dalamnya terdapat sikap loyal dari setiap warga sebagai satu kesatuan. Dalam hal ini, Parson (1951 : 97 – 98) mengemukakan, “Kehidupan warga suatu komunitas yang terintegrasi sanggup dilihat dari adanya solidaritas di antara mereka melalui tolong-menolong tanpa keharusan untuk membalasnya, ibarat adanya peristiwa alam atau membantu warga lain yang dalam kesusahan. Tetapi tolong menolong ibarat ini menjadi suatu kewajiban, untuk saling membalas terutama dalam hal pekerjaan yang bekerjasama dengan pertanian atau di ketika salah satu warga melaksanakan perayaan. Begitu pula, apabila terdapat pekerjaan yang hasilnya untuk kepentingan bersama, maka dibutuhkan pengerahan tenaga dari setiap warga melalui kerjabakti.”
Kegiatan gotong-royong dilakukan warga komunitas, baik yang berada di perdesaan maupun di perkotaan, yang penting mereka dalam kehidupannya senantiasa memerlukan orang lain. Di perkotaan nilai gotong-royong ini sangat berbeda dengan gotong-royong di pedesaan, alasannya ialah di perkotaan segala sesuatu sudah banyak dipengaruhi oleh materi dan sistem upah, sehingga akan diperhitungkan untung-ruginya dalam melaksanakan gotong-royong, sedangkan di perdesaan gotong-royong belum banyak dipengaruhi oleh materi dan sistem upah sehingga kegiatan gotong-royong dibutuhkan sebagai suatu solidaritas antar sesama dalam satu kesatuan wilayah atau kekerabatan. Dalam hal ini Koentjaraningrat (1984 : 7) mengemukakan kegiatan gotong-royong di pedesaan sebagai berikut,
- Dalam hal kematian, sakit, atau kecelakaan, di mana keluarga yang sedang menderita itu menerima pertolongan berupa tenaga dan benda dari tetangga-tetangganya dan orang lain sedesa;
- Dalam hal pekerjaan sekitar rumah tangga, contohnya memperbaiki atap rumah, mengganti dinding rumah, membersihkan rumah dari hama tikus, menggali sumur, dsb., untuk mana pemilik rumah sanggup minta pemberian tetangga-tetangganya yang akrab dengan memberi pemberian makanan;
- Dalam hal pesta-pesta, contohnya pada waktu mengawinkan anaknya, pemberian tidak hanya sanggup diminta dari kaum kerabatnya, tetapi juga dari tetangga-tetangganya, untuk mempersiapkan dan penyelenggaraan pestanya;
- Dalam mengerjakan pekerjaan yang mempunyai kegunaan untuk kepentingan umum dalam masyarakat desa, ibarat memperbaiki jalan, jembatan, bendungan irigasi, bangunan umum dsb., untuk mana penduduk desa sanggup tergerak untuk bekerja bakti atas perintah dari kepala desa.
Gotong-royong sanggup dikatakan sebagai ciri dari bangsa Indonesia terutama mereka yang tinggal di pedesaan yang berlaku secara turun temurun, sehingga membentuk sikap sosial yang faktual kemudian membentuk tata nilai kehidupan sosial. Adanya nilai tersebut mengakibatkan gotong-royong selalu terbina dalam kehidupan komunitas sebagai suatu warisan budaya yang patut dilestarikan. Hubungannya gotong-royong sebagai nilai budaya, maka Bintarto (1980 : 24) mengemukakan, Nilai itu dalam sistem budaya orang Indonesia mengandung empat konsep, ialah :
- Manusia itu tidak sendiri di dunia ini tetapi dilingkungi oleh komunitinya, masyarakatnya dan alam semesta sekitarnya. Di dalam sistem makrokosmos tersebut ia mencicipi dirinya hanya sebagai unsur kecil saja, yang ikut terbawa oleh proses peredaran alam semesta yang maha besar itu.
- Dengan demikian, insan pada hakekatnya tergantung dalam segala aspek kehidupannya kepada sesamanya.
- Karena itu, ia harus selalu berusaha untuk sedapat mungkin memelihara hubungan baik dengan sesamanya terdorong oleh jiwa sama rata sama rasa, dan
- selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat konform, berbuat sama dengan sesamanya dalam komuniti, terdorong oleh jiwa sama tinggi sama rendah.
Gotong-royong sebagai bentuk integrasi, banyak dipengaruhi oleh rasa kebersamaan antar warga komunitas yang dilakukan secara sukarela tanpa adanya jaminan berupa upah atau pembayaran dalam bentuk lainnya, sehingga gotong-royong ini tidak selamanya perlu dibuat kepanitiaan secara resmi melainkan cukup adanya pemberitahuan pada warga komunitas mengenai kegiatan dan waktu pelaksanaannya, kemudian pekerjaan dilaksanakan sehabis selesai bubar dengan sendirinya. Adapun laba adanya gotong-royong ini yaitu pekerjaan menjadi gampang dan ringan dibandingkan apabila dilakukan secara perorangan; memperkuat dan mempererat hubungan antar warga komunitas di mana mereka berada bahkan dengan kerabatnya yang telah bertempat tinggal di tempat lain, dan; menyatukan seluruh warga komunitas yang terlibat di dalamnya. Dengan demikian, gotong-royong sanggup dilakukan untuk meringankan pekerjaan di lahan pertanian, meringankan pekerjaan di dalam program yang bekerjasama dengan pesta yang dilakukan salah satu warga komunitas, ataupun pundak membahu dalam menciptakan dan menyediakan kebutuhan bersama.
Gotong-royong dalam bentuk tolong menolong dilakukan secara sukarela untuk membantu orang lain, tetapi ada suatu kewajiban sosial yang memaksa secara moral bagi seseorang yang telah menerima pertolongan tersebut untuk kembali menolong orang yang pernah menolongnya, sehingga saling tolong menolong ini menjadi meluas tanpa melihat orang yang pernah menolongnya atau tidak. Dengan demikian, bahwa tolong menolong ini merupakan suatu perjuangan untuk menanam akal baik terhadap orang lain tanpa adanya imbalan jasa atau kompensasi secara pribadi atas pekerjaan itu yang bersifat kebendaan, begitupula yang ditolong akan merasa berhutang akal terhadap orang yang pernah menolongnya, sehingga terjadilah keseimbangan berupa pemberian tenaga yang diperoleh bila suatu ketika akan melaksanakan pekerjaan yang sama. Dalam hal ini Tashadi dkk. (1982 : 78) mengemukakan,
“Konpensasi atau balas jasa dalam hal tolong menolong itu tidak diwujudkan dengan sejumlah nilai uang, tetapi jasa yang telah diberikan itu akan lebih menjamin hubungan kekeluargaan yang baik di antara mereka yang bersangkutan atau bekerjasama alasannya ialah adanya suatu peristiwa. Apabila kompensasi atau jasa itu diwujudkan dengan sejumlah nilai uang, maka jarak sosial akan terjadi yang mengakibatkan nilai-nilai batin menjadi renggang yang alhasil mendesak nilai itu sendiri. Demikian insiden ini banyak kita lihat remaja ini di banyak sekali tempat di kawasan pedesaan”.
Bersamaan dengan tumbuhnya penduduk, maka kegiatan tolong menolong mulai memunculkan adanya pamrih, walaupun tidak secara pribadi dalam bentuk imbalan nyata, tetapi imbalan yang sama ibarat telah diberikan, sebagaimana Kayam kemukakan,
“bahwa kebersamaan atau kolektivitas dari masyarakat pertanian sederhana akan segera berubah begitu insan pertanian menyadari hal milik pribadi. Begitu ia menciptakan klaim terhadap sebidang lahan, ... agaknya, ia menjadi sadar bahwa ajakan tolong kepada tetangganya untuk menggarap lahan akan harus memperhatikan tolong menolong yang lain. Apabila sebelumnya ia kerja bersama-sama, beramai-ramai dengan tetangganya, "tanpa suatu pamrih", kini ia masih bekerja bersama-sama tetapi dengan "pamrih". Pamrih ialah impian terhadap suatu imbalan. ... apakah itu imbalan berupa ganti pertolongan pada waktu ia nanti memerlukannya.”
Kegiatan kerjabakti sebagai gotong-royong dilakukan secara serentak untuk menuntaskan suatu pekerjaan yang hasilnya dimanfaatkan bersama. Kadangkala kerjabakti semacam ini menjadi pengertiannya menjadi tidak terang dengan adanya kerjabakti secara sukarela dan secara paksaan, ibarat yang di kemukakan Koentjaraningrat (dalam Sajogyo dan Sajogyo, 1992 : 38),
Mengenai gotong-royong kerjabakti kita juga harus membedakan antara
Gotong-royong dalam bentuk tolong menolong dilakukan secara sukarela untuk membantu orang lain, tetapi ada suatu kewajiban sosial yang memaksa secara moral bagi seseorang yang telah menerima pertolongan tersebut untuk kembali menolong orang yang pernah menolongnya, sehingga saling tolong menolong ini menjadi meluas tanpa melihat orang yang pernah menolongnya atau tidak. Dengan demikian, bahwa tolong menolong ini merupakan suatu perjuangan untuk menanam akal baik terhadap orang lain tanpa adanya imbalan jasa atau kompensasi secara pribadi atas pekerjaan itu yang bersifat kebendaan, begitupula yang ditolong akan merasa berhutang akal terhadap orang yang pernah menolongnya, sehingga terjadilah keseimbangan berupa pemberian tenaga yang diperoleh bila suatu ketika akan melaksanakan pekerjaan yang sama. Dalam hal ini Tashadi dkk. (1982 : 78) mengemukakan,
“Konpensasi atau balas jasa dalam hal tolong menolong itu tidak diwujudkan dengan sejumlah nilai uang, tetapi jasa yang telah diberikan itu akan lebih menjamin hubungan kekeluargaan yang baik di antara mereka yang bersangkutan atau bekerjasama alasannya ialah adanya suatu peristiwa. Apabila kompensasi atau jasa itu diwujudkan dengan sejumlah nilai uang, maka jarak sosial akan terjadi yang mengakibatkan nilai-nilai batin menjadi renggang yang alhasil mendesak nilai itu sendiri. Demikian insiden ini banyak kita lihat remaja ini di banyak sekali tempat di kawasan pedesaan”.
Bersamaan dengan tumbuhnya penduduk, maka kegiatan tolong menolong mulai memunculkan adanya pamrih, walaupun tidak secara pribadi dalam bentuk imbalan nyata, tetapi imbalan yang sama ibarat telah diberikan, sebagaimana Kayam kemukakan,
“bahwa kebersamaan atau kolektivitas dari masyarakat pertanian sederhana akan segera berubah begitu insan pertanian menyadari hal milik pribadi. Begitu ia menciptakan klaim terhadap sebidang lahan, ... agaknya, ia menjadi sadar bahwa ajakan tolong kepada tetangganya untuk menggarap lahan akan harus memperhatikan tolong menolong yang lain. Apabila sebelumnya ia kerja bersama-sama, beramai-ramai dengan tetangganya, "tanpa suatu pamrih", kini ia masih bekerja bersama-sama tetapi dengan "pamrih". Pamrih ialah impian terhadap suatu imbalan. ... apakah itu imbalan berupa ganti pertolongan pada waktu ia nanti memerlukannya.”
Kegiatan kerjabakti sebagai gotong-royong dilakukan secara serentak untuk menuntaskan suatu pekerjaan yang hasilnya dimanfaatkan bersama. Kadangkala kerjabakti semacam ini menjadi pengertiannya menjadi tidak terang dengan adanya kerjabakti secara sukarela dan secara paksaan, ibarat yang di kemukakan Koentjaraningrat (dalam Sajogyo dan Sajogyo, 1992 : 38),
Mengenai gotong-royong kerjabakti kita juga harus membedakan antara
- Kerjasama untuk proyek-proyek yang timbul dari inisiatif atau swadaya warga para warga desa sendiri dan
- Kerjasama untuk proyek-proyek yang dipaksakan dari atas.
Warga Komunitas suatu ketika akan mempunyai kegiatan yang memerlukan pemberian dari warga lainnya, yaitu penyelenggaraan khitanan, perkawinan atau dalam pembuatan rumah mereka. ibarat yang dikemukakan Kayam sebagai berikut,
“Seorang petani ... yang mengajak tetangga-tetangganya beramai-ramai membantunya mendirikan rumah sudah harus tahu bahwa ia harus menyediakan kuliner dan minum bagi yang membantunya, dan pada gilirannya pada satu waktu nanti harus bersedia ikut bersama-sama mendirikan rumah atau pekerjaan beramai-ramai.”
Pengolahan lahan pertanian secara berpindah-pindah sulit dilaksanakan apabila dilakukan sendiri oleh pemiliknya, alasannya ialah untuk mengerjakan lahan pertanian dari awal pembukaan lahan hingga pada panen memerlukan banyak curahan tenaga. Sebagaimana Kayam mengemukakan,
“Prinsip fundamental dari suatu masyarakat pertanian pada alhasil ialah penggarapan lahan sebagai sumber dan kelangsungan kehidupan dan penghidupan. Penggarapan lahan itu berkembang dalam waktu yang tidak terlalu usang menjadi penggarapan yang tidak sanggup lagi dikerjakan sendirian bahkan juga pada waktu anak-anaknya sudah sanggup membantu turun ke lahan. Kebersamaan alhasil tidak sanggup dihindarkan lagi sebagai prinsip kehidupan bermasyarakat dari insan yang berkembang menggarap lahan. Ia membutuhkan kawan-kawan untuk membagi pengalaman, pengamatan dan penghayatan wacana banyak sekali tanda-tanda alam alhasil membagi pula wacana kesimpulan semua itu. Kesimpulan bersama itu sanggup bermetamorfosis sistem nilai hidup bermasyarakat atau sistem kepercayaan”
gotong-royong atau tolong menolong dalam bidang pertanian, Tashadi dkk (1982 : 52) mengemukakan,
“Dalam setiap kegiatan gotong-royong tolong menolong atau sambatan ini, setiap orang sanggup mengikutinya. Bahkan jikalau hal ini dianggap sebagai suatu kewajiban sosial bagi warga masyarakat itu semuanya akan terlibat. Akan tetapi dalam bidang mata pencaharian, khususnya di kawasan pedesaan ialah bidang pertanian, maka kegiatan ini hanya melibatkan beberapa orang sebagai pesertanya, yang terang mereka yang terlibat itu ialah petani atau penduduk di desa yang mempunyai pekerjaan sebagai petani, naik ia petani yang mempunyai tanah pertanian maupun ia sebagai buruh tani. “
“Seorang petani ... yang mengajak tetangga-tetangganya beramai-ramai membantunya mendirikan rumah sudah harus tahu bahwa ia harus menyediakan kuliner dan minum bagi yang membantunya, dan pada gilirannya pada satu waktu nanti harus bersedia ikut bersama-sama mendirikan rumah atau pekerjaan beramai-ramai.”
Pengolahan lahan pertanian secara berpindah-pindah sulit dilaksanakan apabila dilakukan sendiri oleh pemiliknya, alasannya ialah untuk mengerjakan lahan pertanian dari awal pembukaan lahan hingga pada panen memerlukan banyak curahan tenaga. Sebagaimana Kayam mengemukakan,
“Prinsip fundamental dari suatu masyarakat pertanian pada alhasil ialah penggarapan lahan sebagai sumber dan kelangsungan kehidupan dan penghidupan. Penggarapan lahan itu berkembang dalam waktu yang tidak terlalu usang menjadi penggarapan yang tidak sanggup lagi dikerjakan sendirian bahkan juga pada waktu anak-anaknya sudah sanggup membantu turun ke lahan. Kebersamaan alhasil tidak sanggup dihindarkan lagi sebagai prinsip kehidupan bermasyarakat dari insan yang berkembang menggarap lahan. Ia membutuhkan kawan-kawan untuk membagi pengalaman, pengamatan dan penghayatan wacana banyak sekali tanda-tanda alam alhasil membagi pula wacana kesimpulan semua itu. Kesimpulan bersama itu sanggup bermetamorfosis sistem nilai hidup bermasyarakat atau sistem kepercayaan”
gotong-royong atau tolong menolong dalam bidang pertanian, Tashadi dkk (1982 : 52) mengemukakan,
“Dalam setiap kegiatan gotong-royong tolong menolong atau sambatan ini, setiap orang sanggup mengikutinya. Bahkan jikalau hal ini dianggap sebagai suatu kewajiban sosial bagi warga masyarakat itu semuanya akan terlibat. Akan tetapi dalam bidang mata pencaharian, khususnya di kawasan pedesaan ialah bidang pertanian, maka kegiatan ini hanya melibatkan beberapa orang sebagai pesertanya, yang terang mereka yang terlibat itu ialah petani atau penduduk di desa yang mempunyai pekerjaan sebagai petani, naik ia petani yang mempunyai tanah pertanian maupun ia sebagai buruh tani. “
- Pengelolaan pertanaman padi memerlukan jumlah tenaga banyak dalam waktu tertentu yang singkat, sehingga anggota petani sendiri tak bisa menyelesaikannya,
- Setiap tani kita mudah mengusahakan tumbuhan padi sehingga dalam pembalasan jasa nampak sungguh keseimbangannya dan
- Perasaan senasib antara petani, mengakibatkan mereka tak ingin bahwa temannya hingga mengalami kesulitan dalam pengelolaan padi, suatu jenis tumbuhan pokok yang merupakan urat nadi kehidupan.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Gotong_royong
loading...
Buat lebih berguna, kongsi: